Kamis, 08 Oktober 2020

Tausiyah dari Syukuur ke Syakuur

Berangkat dari artikel Prof. Dr. Nasaruddin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal, Kepala Penyelenggara Syariah Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tasikmalaya, Drs. H. Yayat Kardiat, MM, dalam tausiyah rutin tujuh menit yang disampaikan setiap hari Rabu seusai pelaksanaan shalat dzuhur berjamaah di Masjid Agung Baiturrahman Kabupaten Tasikmalaya, kembali menekankan pentingnya jama'ah untuk selalu meningkatkan level kesyukuran kepada Allah SWT sampai pada tingkatan syakuur. Dalam uraiannya, beliau menyatakan kesyukuran dapat diungkapkan melalui tahmid, berupa pujian-pujian yang disampaikan dengan ucapan Al-hamdulillah atas segala nikmat dan karunia yang diberikan oleh Allah SWT kepada kita. Ini adalah level kesyukuran pertama yang paling gampang dilakukan setiap orang, yaitu dengan mengucapkan tahmid.

Selanjutnya terdapat level kesyukuran yang dinamakan syukuur itu sendiri. Syukuur ialah mensyukuri segala nikmat yang Allah berikan kepada kita, seperti kesehatan, rezeki, jabatan, keturunan, dan keluarga yang sakinah. Bersyukur ialah memberikan sebagian nikmat Allah kepada hamba-Nya yang membutuhkannya. Misalnya, gaji kita dinaikkan atau kita memperoleh keuntungan usaha dagang, maka cara mensyukurinya kita harus mengeluarkan zakat, infak, dan sedekah kepada orang-orang yang layak menerimanya, atau sebagaimana ditunjuk oleh syara'. 

Tingkat kesyukuran yang lebih tinggi lagi dinamakan syakuur. Syakuur ialah mensyukuri segala sesuatu yang datang dari Tuhan, termasuk musibah, penderitaan, dan kekecewaan. Bersyukur terhadap berbagai nikmat Tuhan (syukuur) ialah sesuatu yang biasa. Akan tetapi, mensyukuri penderitaan, musibah, dan kekecewaan (syakuur) itu luar biasa. Syukuur banyak dilakukan orang, tetapi syakuur amat langka dilakukan orang, sebagaimana dikatakan dalam ayat: Wa qaliilun min 'ibadiy al-syakuur (Hanya sedikit sekali di antara hamba-Ku yang mampu mencapai tingkat syakur/QS Saba'/34:13). Bersyukur dalam arti syakuur berarti bersabar menerima cobaan Tuhan dan tidak pernah salah paham terhadap Tuhan.

Rasulullah SAW sendiri adalah sosok pribadi yang di dalam dirinya terpancar sifat-sifat syukuur dan syakuur sekaligus. Suatu hari Sayyidatina 'Aisyah mempertanyakan ibadah-ibadah Nabi yang sedemikian aktif, baik di siang hari terlebih di malam hari. Kenapa engkau melakukan yang sedemikian itu? Bukankah engkau adalah nabi dan rasul pilihan Allah yang dijamin masuk surga? Sambil tersenyum Nabi menjawab dengan jawaban pendek, tetapi padat arti: "Afalam akuna 'abdan syakuran?" (Tidakkah aku sebagai hamba yang bersyukur?) Redaksi yang digunakan Nabi ialah syakuur, bukan syukuur

Kata syukuur dan syakuur sama-sama berasal dari akar kata syakara-yasykuru yang berarti bersyukur. Namun syakuur memiliki makna tersendiri. Dalam Risalah Qusairiyah karya Abi al Qasim Abdul Karim Bin Hawazin Al Qusairi, dijelaskan perbedaan syakir dan syakuur.

Syakir, bersyukur atas nikmat yang ada dan syakuur tetap besyukur atas nikmat yang luput.

Syakir, bersyukur atas pemberian-Nya dan syakuur senantiasa bersyukur walau dalam musibah.

Syakir, bersyukur atas manfaat yang didapat dan syakuur adalah tetap besyukur walau tidak mendapatkan keuntungan dari usahanya (DS).

1 komentar:

Dindin Saefuddin mengatakan...

Wah, mantaf nih pa Kasi, terima kasih atas pencerahannya....