Indonesia, sebagai negara dengan jumlah penduduk nomor lima terbanyak di dunia, merupakan sebuah pasar potensial perdagangan. Di samping itu, sebagai negara yang memiliki penduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia tentu saja memiliki kepentingan untuk menjaga masyarakatnya agar mendapatkan perlindungan dan jaminan kehalalan produk yang dikonsumsi. Terlebih lagi menghadapi era pasar bebas yang kini tengah berlangsung, di mana produk-produk dengan mudahnya akan keluar masuk dari Indonesia.
Aspek kehalalan tentu saja merupakan aspek yang perlu mendapat perhatian lebih dan juga akan berkaitan dengan aspek pemasaran antar negara. Oleh karena itu, memang faktor kehalalan menjadi faktor penentu dalam perdagangan di Indonesia, termasuk pula perdagangan internasional. Menyadari betapa pentingnya hal ini, Pemerintah telah lama mencanangkan sebuah payung hukum untuk mengatur bagaimana lalu lintas produk di Indonesia dapat dijamin kehalalannya.
Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU Produk Halal) menjadi UU Nomor 33 Tahun 2014 (UU Jaminan Produk Halal). UU ini disahkan dengan pertimbangan kebebasan agama, khsusunya untuk populasi Indonesia yang mayoritas adalah Muslim.
Perlindungan dalam konsumsi produk halal merupakan bagian dari tanggung jawab negara. Perlindungan ini bukan hanya berkaitan dengan aspek keamanan saja, tapi juga ketersediaan produk halal. UU Produk Halal penting bagi produsen makanan, obat, kosmetik, produk kimia, produk yang diolah secara genetis, serta importir produk ini.
Mengetahui seluk beluk UU Jaminan Produk Halal menjadi sebuah keharusan bagi tiap perusahaan dalam menjalankan roda bisnisnya. Bukan hanya itu, sebagai konsultan hukum penting untuk mengetahui hal-hal terkait pelaksanaan jaminan produk halal sebagai bagian dari perlindungan konsumen.
Pertanyaannya adalah apakah keberadaan UU Jaminan Produk Halal dapat mengakomodir kepentingan-kepentingan para pelaku usaha dalam menjalankan roda bisnisnya? Atau bahkan justru menjadi sebuah batu sandungan yang perlu diwaspadai oleh para pelaku usaha?
Di sisi lain, pada pertengahan 2019 ini, setelah 5 tahun diundangkan, dikeluarkan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2019 sebagai aturan pelaksana dari UU No. 33 Tahun 2014. PP ini mengatur khusus mengenai teknis pelaksanaan beberapa ketentuan di dalam UU tersebut yang di dalamnya termasuk kebutuhan Sertifikasi Produk Halal.
Sebagaimana diketahui, produk halal adalah produk yang dapat dikonsumsi, seperti makanan, minuman, obat, kosmetik, produk kimia, produk biologis, produk yang diolah secara genetis, atau produk lainnya yang dapat digunakan oleh manusia sesuai dengan prinsip Islam (produk halal). Hal penting dari produk halal adalah bahan baku dan proses pembuatan produk tersebut. Bahan baku yang berasal dari hewan tertentu dianggap haram (lawan dari halal) termasuk bangkai, darah, dan babi.
Tumbuhan juga dapat dianggap haram, jika tanaman tersebut menyebabkan ketergantungan (mabuk) dan/atau berbahaya bagi kesehatan manusia bila dikonsumsi. Proses pembuatan yang halal mensyaratkan bahwa lokasi, sarana, peralatan, pemrosesan, penyimpanan, kemasan, penyebaran, dan penjualan produk halal harus terpisah dari produk tidak halal. Selain itu, fasilitas pembuatan produk halal harus dijaga agar bersih dan higienis, bebas dari kenajisan, dan bebas dari bahan non-halal.
Sertifikat halal adalah pengakuan bahwa suatu produk adalah halal aman untuk dikonsumsi dan digunakan oleh umat Muslim. Untuk itu, pemerintah membentuk lembaga baru bernama Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dengan pengawasan dari Menteri, yang akan bertanggung jawab untuk menerbitkan sertifikat halal.
BPJPH akan menggantikan peran MUI, yang sebelumnya merupakan lembaga tunggal yang menerbitkan sertifikat halal. UU Produk Halal mewajibkan pembentukan BPJPH dalam jangka waktu tiga tahun setelah UU Produk Halal berlaku. Berdasarkan ketentuan ini, MUI akan masih berwenang untuk menerbitkan sertifikat halal hingga BPJPH terbentuk. Walaupun sertifikat halal akan diterbitkan oleh BPJPH, proses pemeriksaan apakah suatu produk halal atau tidak, akan dilakukan oleh pihak lain, yaitu Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Secara umum, LPH akan memeriksa dan memverifikasi apakah bahan baku dan proses pembuatannya halal. Kegiatan ini dapat dilakukan di dalam atau di luar sarana produksi.
LPH dapat dibentuk oleh pemerintah dan masyarakat. Untuk menjalankan tugasnya, LPH harus diakreditasi oleh BPJPH, mempekerjakan setidaknya tiga pengawas, dan memiliki laboratorium sendiri atau bekerja sama dengan pihak lain yang memiliki laboratorium. Ketentuan lebih lanjut yang mengatur LPH diatur dalam peraturan pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar